Larangan Duduk di Pinggir Jalan Kecuali Hak Jalan Ditunaikan
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, bahwasanya Nabi saw.
pernah bersabda, “Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan.” Para
sahabat berkata, “Ya Rasulullah, kami duduk di situ untuk mengobrol,
kami tidak bisa meninggalkannya.” Beliau bersabda, “Jika kalian tidak
mau meninggalkan tempat itu maka kalian harus menunaikan hak jalan.”
Para sahabat bertanya, “Apa hak jalan itu ya Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Menundukkan pandangan, membuang hal-hal yang mengganggu di
jalan, menjawab salam, memerintahkan perkara ma’ruf, dan melarang
perbuatan mungkar,” (HR Bukahri [6229] dan Muslim [2121]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Nabi saw. pernah
melarang duduk-duduk di pinggir jalan. Para sahabat berkata, “Ya
Rasulullah, sulit bagi kami untuk duduk-duduk di rumah kami.” Beliau
bersabda, “Jika kalian duduk di sana maka tunaikan haknya.” Para sahabat
bertanya, “Apa hak jalan,ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Memberi
petunjuk bagi orang yang bertanya, menjawab salam, menundukkan
pandangan, memerintahkan untuk berbuat baik, dan melarang berbuat
mungkar,” (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [1149]).
Diriwayatkan dari al-Barra’ bin Azb r.a, ia berkata, “Nabi saw.
melintas di majelis orang-orang Anshar, lalu beliau bersabda, “Jika
kalian enggan meninggalkan tempat tersebut maka tunjukilah si penanya
jalan, jawablah salam dan tolonglah orang yang teraniaya’,” (Shahih, HR
Abu Dawud ath-Thayalisi [710] dan at-Tirmidzi [2726]).
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab r.a, ia berkata, “Rasulullah saw.
mendatangi kami pada saat kami duduk-duduk di pinggir jalan. Lalu beliau
bersabda, ‘Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan ini sebab ini
adalah majelisnya syaitan. Jika kalian enggan meninggalkannya maka
tunaikanlah hak jalan.’ Lantas Rasulullah saw. pergi. Aku berkata,
‘Rasululllah saw. bersabda, ‘Tunaikanlah hak jalan dan aku belum
bertanya apa hak jalan itu.’ Maka akupun mengejarkan dan bertanya, ‘Ya
Rasulullah, anda katakan begini dan begitu, lalu apa hak jalan itu?’
beliau menjawab, ‘Hak jalan adalah menjawab salam, menundukkan
pandangan, tidak mengganggu orang lewat, menunjuki orang yang tersesat,
dan menolong orang yang teraniaya’,” (Hasan lighairihi, HR ath-Thahawi
dalam kitab Musykilul Atsar [165]).
Kandungan Bab:
1. Larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah
majelis syaitan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan.
Abu Ja’far ath-Thahawi berkata dalam kitabnya Musykilul Atsar
(I/158), “Coba perhatikan atsar-atsar ini, ternyata kita dapati bahwa
Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan. Kemudian beliau
membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut
sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di
pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetapi ingin duduk di pinggir
jalan tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi. Padahal duduk di
tempat tersebut dibolehkan bagi mereka yang dapat menjamin dirinya
menunaikan syarat-syarat dibolehkannya duduk di pinggir jalan.”
Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara larangan Nabi saw.
dan pembolehannya. Dan masing-masing memiliki makna yang berbeda dengan
yang lainnya.
Hadits ini menunjukkan bolehnya menggunakan jalan umum selama
tidak mengganggu pengguna jalan. Jika demikian halnya maka secara akal,
apabila duduk di pinggir jalan dapat membuat sempit bagi pengguna jalan,
tidak termasuk hal yang dibolehkan oleh Rasulullah saw. Perkara seperti
ini hukumnya sebagaimana yang tercantum dalam hadits Sahl bin Mu’adz
al-Juhani dari ayahnya, “Ketika areal perumahan sudah semakin sempit
hingga orang-orang menutup jalan untuk perumahan, maka pada beberapa
peperangan Rasulullah saw. memerintahkan untuk diumumkan bahwa
barangsiapa yang rumahnya sempit lantas ia menutup jalan untuk perumahan
maka tidak ada jihad baginya.”
Oleh karena itu wajib bagi orang yang memiliki akal untuk
memahami hadits Rasulullah saw. yang beliau tujukan kepada ummatnya.
Sesungguhnya beliau berbicara kepada mereka agar mereka benar-benar
berada di atas aturan agama mereka, di atas adab yang berlaku dalam
agama mereka, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam agama mereka.
Dan hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada pertentangan di dalam
hukum-hukum tersebut. Dan setiap makna yang beliau lontarkan kepada
mereka yang mengandung lafadz bertentangan dengan lafadz sebelumnya
merupakan lafadz yang memiliki makna yang sejenis dan dicari dari
masing-masing kedua makna tersebut. Apabila terdetik dalam hati mereka
adanya pertentangan atau perbedaan, berarti makna tersebut bukan seperti
yang mereka duga. Dan apabila sebagian orang tidak mengetahui makna
tersebut, itu dikarenakan kelemahan ilmunya, bukan karena adanya
pertentangan sebagaimana apa yang mereka sangka. Sebab Allah telah
menjamin tidak ada pertentangan di dalamnya.
Allah berfirman, “Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya,”
(An-Nisaa’: 82).
2. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XI/11), “Seluruh hadits-hadits ini mengandung 14 adab yang aku susun dalam bait-bait berikut, “Ku kumpulkan beberapa adab untuk mereka yang ingin duduk di pinggir jalan. Dari sabda manusia terbaik. Tebarkan salam dan ucapan baik. Mengucapkan tasymit bagi yang bersin. Membalas salam dengan baik. Membantu sesama dan menolong yang teraniaya. Memberi minum bagi yang haus serta menunjukkan jalan dan kebaikan. Menyuruh berbuat baik, melarang kemungkaran dan tidak mengganggu. Menundukkan pandangan dan banyak berdzikir kepada Allah.”
2. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XI/11), “Seluruh hadits-hadits ini mengandung 14 adab yang aku susun dalam bait-bait berikut, “Ku kumpulkan beberapa adab untuk mereka yang ingin duduk di pinggir jalan. Dari sabda manusia terbaik. Tebarkan salam dan ucapan baik. Mengucapkan tasymit bagi yang bersin. Membalas salam dengan baik. Membantu sesama dan menolong yang teraniaya. Memberi minum bagi yang haus serta menunjukkan jalan dan kebaikan. Menyuruh berbuat baik, melarang kemungkaran dan tidak mengganggu. Menundukkan pandangan dan banyak berdzikir kepada Allah.”
Dan termasuk penyebab terlarangnya duduk di pinggir jalan
karena akan berhadapan dengan bahaya fitnah wanita-wanita muda dan
dikhawatirkan munculnya fitnah setelah melihat mereka. Padahal para
wanita tidak terlarang melintas di jalan-jalan untuk suatu keperluan.
Demikian juga jika ia berada di rumahnya, tentunya ia tidak akan
berhadapan dengan hak-hak Allah dan hak kaum muslimin di mana ia tidak
sendirian dan harus melakukan apa yang wajib ia lakukan, seperti ketika
ia melihat kemungkaran dan terhentinya kebaikan, maka pada saat itu
seorang muslim wajib menyurub berbuat baik dan melarang kemungkaran
tersebut. Sebab meninggalkan itu semua berarti telah berbuat maksiat.
Demikian juga, ia akan bertemu dengan orang yang akan melintas
maka mereka harus menjawab salam mereka. Dan mungkin akan membuatnya
bosan menjawab salam jika pelintas yang memberi salam semakin banyak,
sementara menjawab salam itu hukumnya wajib. Jika ia tidak jawab salam
tentunya ia akan mendapat dosa.
Oleh karena itu, orang yang diperintahkan untuk tidak
menghadang fitnah dan menyuruh untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan
ia sanggup melakukannya. Untuk menghindari masalah inilah syari’at
menganjurkan mereka agar tidak duduk di pinggir jalan. Ketika para
sahabat menyebutkan pentingnya tempat tersebut bagi mereka untuk
beberapa maslahat, tempat berjumpa, tempat membincangkan masalah agama
dan dunia atau untuk tempat istirahat dengan berbicalah masalah yang
hukumnya mubah, maka Rasulullah saw. menunjuukkan kepada mereka
perkara-perkara di atas yang dapat menghilangkan kerusakan yang timbul
akibat duduk di pinggir jalan.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali,
Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau
Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan
al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/330-331.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar