Nikah Sirri vs. Itsbat Nikah
Praktik kawin atau nikah sirri
ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena faktor ketidaktahuan dan
ketidaksadaran akan pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud
untuk memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan melangsungkan poligami,
atau menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau
seorang istri takut tunjangannya sebagai istri Pegawai Negeri Sipil yang
ditinggal mati oleh suaminya hilang, dan atau karena masalah biaya pencatatan perkawinan bagi mereka yang tidak mampu.
Di samping faktor tersebut
di atas, di kalangan umat Islam masih
ada yang berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah sah apabila
dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam, tidak perlu ada pencatatan dan
tidak perlu ada surat atau akta
nikah, sehingga perkawinan di bawah
tangan atau kawin sirri pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya
sikap proaktif Pegawai
Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama untuk
mengawasi setiap peristiwa nikah
yang ada di wilayahnya.
Pengertian Nikah Sirri
Kata “sirri”� dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab sirrun
yang berarti secara diam- diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia,
secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. Jadi nikah sirri berarti nikah
secara rahasia (secret marriage, pernikahan yang dirahasiakan dari
pengetahuan orang banyak).
Menurut Prof. DR. Mahmud
Syalthut, mantan Rektor Universitas al-Azhar di Kairo
Mesir, berpendapat bahwa
nikah sirri merupakan
jenis pernikahan di mana akad atau
transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi,
tidak dipublikasikan (i’lan),
tidak tercatat secara
resmi, dan sepasang
suami isteri itu
hidup secara sembunyi- sembunyi sehingga tidak ada orang
lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqaha berpendapat nikah sirri
seperti ini tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang
tidak terpenuhi yakni kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang
saksi dan dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri
dan sah menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk
merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, fuqaha’ sepakat akan
kemakruhannya.
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mendefinisikan kawin sirri
atau nikah di bawah tangan adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun
dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa
pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan
perundang-undangan.”� Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi,
menyebutkan bahwa “nikah sirri” adalah pernikahan
yang belum diresmikan,
belum diumumkan secara terbuka
kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga
pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada
masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi
belum diadakan resepsi pernikahan.
H. Wildan Suyuti Mustofa,
Ketua PTA Semarang dalam Mimbar Hukum No. 28 Tahun 1996 menulis, nikah sirri
dapat dibedakan kepada dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan
oleh seorang laki-laki
dan seorang perempuan tanpa hadirnya
orangtua/wali si perempuan. Dalam perkawinan bentuk pertama ini akad
nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang akan
melakukan akad nikah,
dua orang saksi,
dan guru atau
ulama (kiyai) yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian dari wali
nikah yang berhak. Padahal guru atau ulama (kiyai) tersebut dalam pandangan
hukum Islam tidak berwenang menjadi wali nikah karena ia tidak termasuk dalam
prioritas wali nikah.
Kedua, adalah akad nikah yang telah memenuhi syarat
dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam,
tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia.
Menurut DR. H. A. Gani
Abdullah, SH., Hakim Agung dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1995 mengatakan,
untuk mengetahui apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur sirri
atau tidak, dapat dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai
perkawinan legal. Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan
itu dapat diidentifikasi sebagai perkawinan sirri. Tiga indikator itu
adalah : Pertama, subyek hukum
akad nikah, yang terdiri calon suami, calon istri, dan wali nikah yaitu orang
yang berhak sebagai wali, dan dua orang saksi. Kedua, kepastian hukum
dari perkawinan tersebut, yaitu ikut hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat
nikah dilangsungkan. Ketiga, walimatul ‘ursy, yaitu suatu
kondisi yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa
di antara kedua calon suami istri tadi telah resmi menjadi suami istri.
Dari ketiga indikator
tersebut, suatu perkawinan dapat diklasifikasi
sebagai kawin atau nikah sirri apabila unsur kedua dan ketiga tidak terpenuhi, yaitu perkawinan tidak
dipublikasikan kepada masyarakat dan tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat
Nikah.
Kawin atau nikah sirri
tidak selalu merupakan perkawinan yang tidak sah, baik dari aspek hukum Islam
maupun hukum positif. Jika dikatakan bahwa
perkawinan yang sah adalah perkawinan
yang telah memenuhi
syarat dan rukun
perkawinan sebagaimana diatur
dalam hukum Islam maupun hukum positif. Hal itu karena Pasal 2 (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa keabsahan
suatu perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang
melakukan perkawinan itu. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan apabila
telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam maupun hukum
positif adalah sah menurut hukum Islam dan hukum positif. Tapi karena
perkawinan itu tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah sehingga dikatakan
sebagai nikah atau kawin sirri.
Nikah sirri
kategori pertama yang dikatakan oleh Wildan Suyuti Mustofa di atas, yaitu
perkawinan yang tidak dihadiri oleh wali nikah, sulit untuk dilegalkan dan
tidak mempunyai landasan hukum.
Di masyarakat seringkali
terjadi kawin sirri dilakukan di hadapan kiyai, guru atau modin. Pada
saat perkawinan dilangsungkan yang menjadi wali nikah adalah kiyai, guru atau
modin, sementara orangtua/wali nikah dari perempuan tidak memberikan delegasi
untuk menikahkan anak perempuannya. Perkawinan semacam ini jelas tidak sah
karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, yaitu tidak ada wali nikah.
Mengenai masalah
pencatatan perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 2 (2) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah menentukan keabsahan suatu perkawinan
yang telah dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam karena pencatatan
perkawinan hanya menyangkut masalah administratif. Namun demikian, suatu
perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatatan Nikah, suami istri
tersebut tidak akan memiliki buku nikah sebagai bukti otentik terjadinya
perkawinan sehingga perkawinannya secara yuridis tidak diakui pemerintah, tidak
mempunyai kepastian hukum dan perlindungan hukum dari Negara.
Itsbat Nikah
Untuk memberikan
legitimasi nikah sirri atau perkawinan yang
tidak dicatatkan kadang ditempuh dengan permohonan itsbat nikah ke
Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang sering disebut dengan
pengesahan nikah adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang merupakan perkara voluntair.
Perkara voluntair adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari
pemohon saja. Oleh karena itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai
perkara karena tidak ada pihak lawan atau tidak obyek hukum yang disengketakan.
Dalam Pasal 49 ayat (2)
Undang-Undang 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan
terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi absolute Pengadilan
Agama di antaranya adalah Itsbat Nikah, yaitu pernyataan tentang sahnya
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Landasan yuridis dari
itsbat nikah terdapat di dalam Pasal 49
ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa kompetensi absolute
Pengadilan Agama tentang itsbat nikah adalah perkawinan yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang
terjadi sesudahnya.
Dalam praktik, permohonan
itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama sekarang ini pada umumnya sekitar 95%
adalah perkawinan yang
dilangsungkan pasca berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah
Pengadilan Agama mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya
Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Dalam Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 dapat dipahami bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak
dicatatkan/nikah sirri) yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk
diitsbatkan hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karenanya ketentuan tersebut, tidak
memberi sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan yang
dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meskipun
perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum Islam (terpenuhi syarat
dan dan rukunnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, maka
perkawinan itu tidak boleh diitsbatkan oleh Pengadilan Agama.
Pengabulan permohonan
itsbat nikah oleh Pengadilan Agama terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Dalam Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan :
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan;
b.
Hilangnya akta nikah;
c.
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1
tahun 1974.
e.
Perkawinan yang dilakukan
oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dalam praktik beracara di
Pengadilan Agama, hakim pada umumnya langsung menerapkan Pasal 7 Ayat (2) dan
(3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tanpa menguji kekuatan keberlakukan KHI di
hadapan undang-undang. Dengan demikian, meskipun ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf a di atas sulit dipahami, tetapi
mayoritas hakim Pengadilan Agama dengan penafsiran yang kabur memahami
ketentuan Ayat (3) huruf a tersebut, seolah-olah merupakan keharusan untuk
menerima permohonan itsbat nikah jika diajukan dengan dikumulasi gugatan
perceraian, walaupun perkawinan
itu dilakukan setelah berlakunnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Demikian juga ketika hakim memahami ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi
Hukum Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
jika ditinjau dari hierarki peraturan perundang- undangan seperti yang diatur
dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan
Perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam
(Inpres No. 1 Tahun 1991) tidak termasuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan, dan kedudukannya jauh di bawah undang-undang. Ketentuan Inpres
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Apabila Inpres (KHI) bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan hukum
yang lebih tinggi, maka Inpres tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan
asas “Lex Superior Dragot lex Inferior” (ketentuan hukum yang lebih
tinggi mengesampingkan hukum di bawahnya).
Sebagaimana telah
dikemukakan pada bagian pendahuluan di atas, bahwa Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan peraturan organiknya Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, berlaku secara efektif sejak 1 Oktober 1975, maka sejak tanggal
tersebut semua perkawinan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang
perkawinan tersebut. Perkawinan yang dilakukan setelah tanggal tersebut, tetapi
tidak mengikuti ketentuan undang-undang tersebut, maka perkawinan itu tidak
mendapatkan kepastian hukum dan diakui oleh
pemerintah.
Secara yuridis, jika perkawinan
tersebut diajukan permohonan itsbat
nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan tersebut
harus menyatakan tidak berwenang mengadili. Jika permohonan tersebut dikabulkan
oleh hakim, berarti pengadilan agama telah meligitimasi dan mengakui perkawinan
yang melawan hukum dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terhadap perkawinan yang
dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
jika diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang
memeriksa permohonan tersebut, harus
cermat meneliti apakah perkawinan yang dimohonkan untuk di-itsbat-kan
itu dilaksanakan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang
ditentukan dalam hukum Islam atau tidak. Jika dalam pemeriksaan di persidangan
tidak terbukti bahwa perkawinan itu dilakukan telah sesuai dengan ketentuan
hukum Islam, hakim wajib menolak permohonan itsbat nikah itu, walaupun
diajukan dalam rangka menyelesaikan perceraian. Sebab bagaimana mungkin hakim
menyatakan sahnya suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Oleh karena itu, seharusnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (e)
KHI tersebut memberi kriteria yang jelas dan tegas, bahwa perkawinan yang dapat
dimohonkan itsbat-nya ke Pengadilan Agama adalah perkawinan yang
dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan
yang memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Perkawinan yang dilakukan
setelah Undang-undang No.1 Tahun 1974 diundangkan yang tidak dicatatkan pada
Pegawai pencatat Nikah, dapatkah di-itsbat-kan
oleh Pengadilan Agama?
Jawabnya: tidak dengan
argumentasi: Secara yuridis ketentuan Pasal 49
huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, hanya memberi izin kepada
Pengadilan Agama untuk meng-itsbat-kan perkawinan yang dilakukan sebelum
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diundangkan. Bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan tapi perkawinan mereka tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah,
hal itu menjadi indikator bahwa mereka tidak patuh dan tidak taat hukum untuk
mencatatkan perkawinannya. Terhadap perkawinan yang demikian, hukum tidak
melindungi dan tidak diakui oleh pemerintah. Oleh karena itu, apabila mereka
mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, maka hakim harus
menolaknya karena tidak ada landasan yang logis
secara hukum untuk mengabulkannya.
Pengadilan Agama yang
mengabulkan permohonan itsbat nikah pasca berlakunya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, berarti melegitimasi dan mengakui perkawinan yang melanggar hukum.
Di samping itu, secara sosiologis itsbat nikah terhadap perkawinan yang
dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, akan
menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di masyarakat karena pada akhirnya
perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) itu dapat di-itsbat-kan
oleh Pengadilan Agama.
Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan :
1.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 Ayat (2) hurup a angka 22 dan
penjelasannya, hanya mengizinkan kepada Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan
perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang ditentukan
dalam Hukum Islam.
2.
Ketentuan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang
dijadikan landasan hukum oleh hakim dalam melakukan Itsbat Nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan
setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sangatlah lemah karena KHI
tidak termasuk dalam hierarki
peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan
Perundang-undangan.
3.
Nikah sirri setelah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974,
sebagai sebagai indikator ketidakpatuhan
dan ketidaktaatan terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) undang-Undang
1974, mengitsbatkannya akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di
masyarakat.
4.
Bila itsbat nikah dinilai sebagai salah satu bentuk pelayanan
kepada para pencari keadilan, maka diperlukan payung hukum yang kuat bagi
Pengadilan Agama untuk melakukannya dengan mengamandemen ketentuan Pasal
49 Ayat (2) huruf a angkat 22
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 50
Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
:
Abdul Hayyi, Muhammad, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah,
Al-Azhar, Makatabah Nashir.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah,
Dar-Alfikr.
Halim, Abd., Studi Hukum Perkawinan Islam
Kontemporer, Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
Shomad, Abd., Hukum Islam : Penerapan Prinsip
Syari’ah dan Hukum Islam, Kencana Prenada
Media, Jakarta, 2010.
Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-masalah
Krusial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah,
PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995.
Zien, Satria Egendi M., Problematika Hukum
Keluarga Islam Kontemporer, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Kompilasi Hukum Islam.
Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1996 dan No.. 28 Tahun
1996.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
UU No. 3 Tahun 2006
UU No. 50 Tahun 2009
Penulis: Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, MH. (Hakim
Pengadilan Agama Mojokerto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar